spot_img

Buya Hamka, Sejarawan Ulung Karyanya Melengenda, In Memoriam(1908-24 Juli 1981) Edisi 3 (Tamat) :

SuhaNews. Buya Hamka, nama yang melegenda di bumi pertiwi. Karena kagum pada sosok yang sastrawan, ulama dan sejarawan ini, namanya dipakai sebagai nama anak. Hingga nama dari kependekan Haji Abdul Malik Karim Amrullah itu melegenda seperti karyanya.

Hendra Sugiantoro, pemerhati sejarah yang juga penulis, menyebut, Buya Hamka juga memiliki metode tersendiri dalam penulisan sejarah. Daya baca Buya Hamka memang kuat. Tetapi, ia berjuang keras mengkritisi dan berusaha menyingkirkan teks-teks beraroma dongeng yang kerap dijumpai dalam teks-teks klasik.

Buya Hamka berpendapat perlu membedakan antara khayal dan fakta. Bahkan, ulama yang banyak berjasa dalam perkembangan agama Islam dinilainya “tidak juga dapat melepaskan dirinya daripada menuliskan dongeng-dongeng itu”.

Sikap kritis juga diterapkan Buya Hamka dalam menelaah tulisan-tulisan sejarawan Belanda tentang Indonesia. Menurutnya, para sejarawan Belanda telah memberikan andil yang besar dalam banyak data, namun tetap perlu kritis menerimanya (Deliar Noer, 1978).

Dilansir oleh Matapadi.co, dalam tulisan mengenang 40 tahun wafatnya Buya Hamka,Pada 24 Juli, 40 tahun lampau, Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Buya Hamka meninggal dunia. Bagi masyarakat Indonesia, Buya Hamka dikenal sebagai ulama. Beliau juga seorang pejuang pena. Tak banyak sosok ulama di negeri ini yang produktif menghasilkan karya tulis, terutama karya sastra. Ia dikenal sebagai sastrawan, bahkan wartawan.

Buya Hamka yang lahir di Sungai Batang, Maninjau, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908 memang tekun menulis di sepanjang hayatnya. Siapa yang tak mengetahui karyanya berjudul Di Bawah Lindungan Kabah? Buku-buku Buya Hamka kadang merupakan kumpulan tulisannya yang telah diterbitkan di surat kabar.

Roman karya Buya Hamka berjudul Tenggelamnya Kapal van Der Wijck dan buku filsafat agama Tashawwuf Modern, misalnya, merupakan tulisan bersambung di majalah Pedoman Masyarakat. Konon, Buya Hamka telah menghasilkan sebuah roman berjudul Si Sabariah pada tahun 1928. Banyak karya sastra yang dihasilkannya.

BACA JUGA  HAri Sumpah Pemuda ke 95, Pontren Kauman Gelar Seminar Nasional

Daya imajinasi Buya Hamka terbilang besar sampai-sampai tiga roman berjudul Mandi Cahaya di Tanah SuciDi Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajlah diselesaikan pada tahun 1950. Buya Hamka juga menghasilkan buku Falsafah Hidup, Lembaga HidupLembaga BudiRevolusi Pikiran, dan Revolusi Agama. Konon Buya Hamka tidak menggunakan seluruh jarinya ketika mengetik, tetapi dengan empat jari. Meskipun hanya dengan sistem “empat jari”, kata M Yunan Nasution (1978), kecepatannya boleh dihandalkan.

Dari jejak kepenulisan Buya Hamka, ia ternyata bisa dikatakan memiliki daya intelektual terbilang menakjubkan dengan penguasaan pelbagai disiplin ilmu. Ia pun layak disebut sebagai sejarawan. Dari sekian karya tulisnya terkait sejarah, karya terbesar adalah buku Sejarah Ummat Islam sebanyak empat jilid. Buya Hamka lewat buku ini menuliskan sejarah Islam di masa-masa awal di Jazirah Arab sampai Islam di Indonesia. Dengan buku ini, Buya Hamka juga telah tampil sebagai penulis sirah Nabi Muhammad Saw.

Buya Hamka juga menuliskan sejarahnya sendiri dalam buku Kenang-kenangan Hidup sebanyak empat jilid. Jejak hidup ayahnya juga dibiografikan dalam buku berjudul Ayahku. Menurut Deliar Noer (1978), selain membicarakan dirinya dan ayahnya, tulisan-tulisan Buya Hamka yang berkaitan dengan bidang sejarah juga membicarakan agama seperti dalam Tasawuf, Perkembangan dan Pemurniannya. Dalam karyanya berjudul Antara Fakta dan Khayal “Tuanku Rao”, Buya Hamka memberi komentar tentang penulisan sejarah.

Buya Hamka semasa hidupnya juga diminta untuk tampil dalam seminar terkait bidang sejarah, baik di dalam negeri maupun mancanegara. Bahkan, ketika memperoleh gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar pada 21 Januari 1958, Buya Hamka memaparkan pidato ilmiah yang menampakkan kemampuannya dalam ilmu sejarah dengan judul “Pengaruh Ajaran dan Pikiran Al-Ustadz Al-Imam Syekh Muhammad Abduh di Indonesia”.

Deliar Noer (1978) mengungkapkan bahwa salah satu kelebihan Buya Hamka sebagai sejarawan dibandingkan dengan sejarawan lain yang keluaran akademis di Indonesia adalah bahwa ia banyak mempergunakan teks-teks klasik seperti hikayat, catatan-catatan kerajaan lama dan tulisan-tulisan ulama, selain mempergunakan tulisan-tulisan orang Belanda.

Buya Hamka juga memiliki metode tersendiri dalam penulisan sejarah. Daya baca Buya Hamka memang kuat. Tetapi, ia berjuang keras mengkritisi dan berusaha menyingkirkan teks-teks beraroma dongeng yang kerap dijumpai dalam teks-teks klasik. Buya Hamka berpendapat perlu membedakan antara khayal dan fakta. Bahkan, ulama yang banyak berjasa dalam perkembangan agama Islam dinilainya “tidak juga dapat melepaskan dirinya daripada menuliskan dongeng-dongeng itu”.

BACA JUGA  Menang 5-1 atas Basaksehir, PSG Vs Juara Grup H Liga Champions

Sikap kritis juga diterapkan Buya Hamka dalam menelaah tulisan-tulisan sejarawan Belanda tentang Indonesia. Menurutnya, para sejarawan Belanda telah memberikan andil yang besar dalam banyak data, namun tetap perlu kritis menerimanya (Deliar Noer, 1978). Buya Hamka tidak sekadar mengulang-ulang catatan sejarah yang terpapar dalam literatur-literatur baku, tetapi juga merekonstruksi sejarah dengan argumentasi dan dalil yang kuat.

Banyak buku karya Buya Hamka dalam bentuk nonfiksi maupun fiksi. Suatu kebanggaan besar bagi negeri ini, Buya Hamka juga mencatatkan diri sebagai penulis tafsir Alquran yang diberi judul Tafsir Al-Azhar. Konon karya beliau yang dibukukan ada lebih dari 100 buku. Wallahu a’lam.

(HENDRA SUGIANTORO, penulis buku Rahmah El-Yunusiyyah dalam Arus Sejarah Indonesia, 2021).

Baca Juga :

Facebook Comments