SuhaNews. Hari ini, 24 Juli 2021, tepat 40 tahun wafatnya Buya Hamka, sang Pedoman Masyarakat. Hendra Sugiantoro, penulis buku Rahmah El-Yunusiyyah dalam Arus Sejarah Indonesia, mencurahkan in memoriam tokoh dari Maninjau ini.
Ulama yang produktif berkarya pena. Banyak bukunya mewarnai dunia literasi, bahkan beliau berhasil merampungkan Tafsir Al-Azhar. Usia hidupnya di dunia tak sampai 73 tahun. Buku beliau melimpah. Konon, karya fiksi maupun nonfiksinya ada 100 lebih.
Beliau adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah, familiar dengan nama Buya Hamka. Anak Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul ini lahir di Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908. Semasa hayatnya, beliau juga bergiat dalam dunia jurnalistik.
Rosihan Anwar dalam In Memoriam Mengenang yang Wafat (2002) pernah menulis bahwa Buya Hamka akan selalu dicatat dalam sejarah kewartawanan sebagai wartawan besar, walaupun tidak magang di Fleet Street di London atau membahas buku-buku teks jurnalistik karya profesor-profesor Columbia University Newyork.
Apa yang dikatakan Rosihan Anwar itu menegaskan posisi Buya Hamka. Siapa pun wartawan pasti dicatat sebagai wartawan dalam sejarah kewartawanan, namun Rosihan Anwar menegaskan bahwa Buya Hamka adalah “wartawan besar”. Begitu banyak surat kabar dirambahi beliau, baik sebagai wartawan, penulis, dan editor, seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, Seruan Muhammadiyah, Kemajuan Masyarakat, Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat, Al-Mahdi, dan Gema Islam.
Dalam tulisannya, selain menggunakan nama Hamka, beliau kerap menggunakan nama samaran, seperti A.S. Hamid, Indra Maha, dan Abu Zaki. Salah satu surat kabar yang tampaknya memiliki kesan tersendiri bagi Buya Hamka adalah Pedoman Masyarakat. Buya Hamka didaulat menjadi hoofdredakteur di majalah yang berkantor redaksi di Medan, Sumatera Utara, itu. Artikel ini berfokus pada jejak jurnalistik Buya Hamka di majalah tersebut.
Dalam Kenang-kenangan Hidup, Buya Hamka bertutur, “Sungguh besar terimakasih saya kepada Tuhan karena peluang yang diberikan Tuhan memimpin majallah Pedoman Masyarakat.” Majalah Pedoman Masyarakat telah terbit sebelum dinahkodai beliau. Sejak tahun 1936, Buya Hamka mulai menggarap majalah itu sampai tahun 1942.
Saat itu beliau berusia 28 tahun dan telah memiliki dua orang anak. Lewat majalah ini, pertemuan Buya Hamka dan Bung Karno bisa terjadi. Bung Karno yang saat itu diasingkan di Bengkulu membaca majalah Pedoman Masyarakat setiap kali terbit.
Membaca tulisan-tulisan Buya Hamka, Bung Karno dibuat takjub. Bung Karno pun ingin bersua. Kepada Oei Tjeng Hin, Konsul Muhammadiyah Bengkulu saat itu, Bung Karno menitip pesan agar Buya Hamka bersedia berkunjung ke Bengkulu. Sekitar tahun 1941, Buya Hamka mengunjungi Bung Karno.
Bagi Buya Hamka maupun Bung Karno, pertemuan ini merupakan pertemuan kali pertama secara face to face. Ketika itu terjadi perbincangan hangat yang berlangsung sekitar dua jam.
Yunan Nasution (1978) mengutarakan, “Semenjak merangkak sampai bisa berdiri sendiri, sejak dari oplah di bawah 1.000 lembar sampai akhirnya meningkat menjadi 5.000 lembar, kami mengasuh mingguan “Pedoman Masyarakat” dengan segala suka dan dukanya. Satu majallah yang tersebar luas di seluruh Nusantara, sejak dari Aceh melintasi pulau Jawa sampai-sampai ke Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara dan lain-lain.”
Apa yang diutarakan Yunan Nasution itu tidaklah mengada-ada. Majalah Pedoman Masyarakat memang dibaca publik hampir di seluruh daerah di Nusantara. Bahkan, dalam Kenang-kenangan Hidup, Buya Hamka mengungkapkan bahwa, “Pembaca tersebar diseluruh Indonesia dan ada pula agen2 di Singapora dan Pulau Pinang.” Haji Agus Salim terbilang suka membaca majalah itu. Buya Hamka kerap meminta Haji Agus Salim yang saat itu berdomisili di Jakarta berkontribusi tulisan.
Majalah Pedoman Masyarakat bagi Buya Hamka memiliki arti penting terkait perjalanan hidupnya. “Alhamdulillah apa yang ditaqdirkan Tuhan rupanya sesuai dengan apa yang saya cita-citakan,” kata beliau.
Demi dapat memimpin majalah Pedoman Masyarakat, Buya Hamka rela meninggalkan posisinya sebagai Direktur Kulliyatul Mubalighin di Padang Panjang, Minangkabau. Majalah Pedoman Masyarakat terdiri dari pelbagai rubrik, seperti rubrik Tuntunan Jiwa, Cermin Hidup, dan Penuntun Budi. Ada juga rubrik khusus sajak. Isi rubrik Cermin Hidup adalah cerita-cerita bersambung.
Lewat majalah Pedoman Masyarakat, Buya Hamka “dapat memperkembang pribadi dalam dunia karang-mengarang”. Roman berjudul Tenggelamnya Kapal van Der Wijck dan buku filsafat agama Tashawwuf Modern ditulis Buya Hamka ketika memimpin majalah tersebut. Ketika Jepang menyerbu dan menduduki Indonesia pada Maret 1942, majalah Pedoman Masyarakat berakhir. Kondisi memang tidak memungkinkan. Artinya, Hamka juga berhenti mengelola majalah Pedoman Masyarakat.
Berita Terkait :
Facebook Comments