SuhaNews. Polda Metro Jaya pada akhir Januari 2020 telah membongkar sindikat perdagangan dan eksploitasi anak di bawah umur di Penjaringan, Jakarta Utara. Ditangkapnya enam pelaku Sindikat Perdagangan Ana yang mempekerjakan 10 anak perempuan untuk melayani pria hidung belang di tempat hiburan malam, Café Khayangan menambah daftar panjang kasus perdagangan dan eksploitasi anak di Indonesia.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bidang Trafficking dan Eksploitasi Ai Maryati Solihah mengungkapkan, hingga akhir Januari tahun ini, sudah ada enam kasus perdagangan anak yang terlapor.
Selain kasus perdagangan dan eksploitasi di Jakarta Utara, ada kasus satu anak korban perdagangan dan pencabulan di Buton Utara, Sulawesi Tenggara. Lalu, 80 anak dengan 10 anak berhasil kabur di dalam program magang SMK di kapal pesiar. Di kapal pesiar itu, ada tindak kekerasan dan penelantaran anak, terkait indikasi perdagangan manusia di Kulon Progo, Yogyakarta.
Kemudian, kasus dua anak perempuan korban prostitusi di apartemen Kalibata City, Jakarta Selatan, dengan pelaku dua anak laki-laki. Ada lagi puluhan anak di bawah umur untuk prostitusi di kapal di Kalimantan Tengah.
Terakhir, tiga anak korban prostitusi daring di apartemen Margonda City, Depok. Ai Maryati menuturkan, jumlah kasus yang terindikasi perdagangan anak turun-naik setiap tahun.
“Sedikitnya, ada 244 kasus perdagangan anak pada 2019. Jumlah ini menurun dibandingkan pada 2018, sebanyak 329 kasus serupa,” kata Ai Maryati seperti dilansir Alinea.id, Selasa (4/2/2020).
Ai Maryati menjelaskan, total kasus perdagangan anak dari Januari 2011 hingga Desember 2019 ada 2.295. Dalam rentang waktu tersebut, kasus paling banyak terjadi pada 2017, yakni 347. Ia pun menyebut, zona merah kasus perdagangan anak ada di Nusa Tenggara Timur (NTT), Jawa Barat, Pangkalpinang, dan Bali. “Terutama di wilayah yang berdekatan dengan tempat wisata,” katanya.
Sementara, Deputi bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Lenny Nurhayanti Rosalin mengatakan, lemahnya pencatatan akta kelahiran dan identitas pendidikan merupakan celah yang riskan terhadap terjadinya kasus perdagangan anak.
“Korban trafficking itu dokumennya banyak yang dipalsukan, usianya diubah sudah dewasa dari kenyataannya,” ujar Lenny di Kantor Kemen PPPA, Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, dikutip dari alinea.id, Jumat (7/2/2020).
“Pintu pertama perdagangan anak pasti karena pemalsuan dokumen.”
Ia mengatakan, ada tiga faktor yang memicu terjadinya kasus perdagangan anak, yakni ketidaksetaraan gender, pengaruh geografis, ketersediaan akses pendidikan, dan pengaruh globalisasi.
Ai Maryati menuturkan, perdagangan anak cenderung terkait dengan prostitusi. Menurutnya, perlindungan anak kerap tertinggal dengan perkembangan teknologi informasi yang menjadi sarana pendukung utama kejahatan itu. Kondisi ini diperparah dengan perilaku permisif pemerintah, yang membuat pengawasan terhadap potensi perdagangan atau prostitusi anak makin meluas.
“Jangankan melaporkan kasus, masyarakat masih banyak yang tidak mengenali kasus perdagangan sehingga masih sulit dicegah,” kata Ai Maryati.
Salah satu celah utama prostitusi anak secara daring, kata dia, melalui jalur komunikasi aplikasi percakapan, seperti WeChat dan BChat. Perangkat hukum untuk menjerat dan menindak kasus ini pun masih lemah.
Aturan dalam undang-undang terkait perdagangan anak, seperti Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, menurut Ai Maryati masih lemah.
“Sesungguhnya ada payung hukum yang lebih kuat untuk menindak pelaku sindikat kejahatan perdagangan anak, yaitu UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang,” ucapnya.
Masalahnya, tutur Ai Maryati, pihak kepolisian masih cenderung menggunakan UU Perlindungan Anak sebagai acuan sanksi hukum. Padahal, menurut dia, UU Perlindungan Anak memberikan sanksi pidana lebih ringan dibandingkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
“Kalau di UU Perlindungan Anak hanya 5 sampai 10 tahun (penjara), sedangkan UU Pemberantasan TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) hingga 15 tahun (penjara),” katanya.
Bahkan, menurut Lenny, peradilan pelaku perdagangan anak bisa dikenakan pasal berlapis dari UU Perlindungan Anak dan UU Pemberantasan TPPO. Ia menuturkan, selain penjara maksimal 15 tahun, UU Pemberantasan TPPO mengatur soal sanksi denda pelaku perseorangan sebesar Rp120 juta-Rp600 juta.
Lenny menegaskan, penanganan masalah sindikat perdagangan anak di Indonesia harus diperkuat melalui jalinan antarpemangku lembaga pemerintah. Oleh karena itu, Kemen PPPA secara intensif berkoordinasi dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) dan KPAI. Selain itu, fungsi Pelayan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PTP2A) akan diperkuat di daerah-daerah.
Cara ini dilakukan sejalan dengan urgensi advokasi dan edukasi pencegahan ekspoitasi dalam empat aspek, yakni anak-anak, keluarga, lembaga pendidikan, dan masyarakat.
“Kita tidak boleh menoleransi kekerasan terhadap anak dalam bentuk apa pun. Kami berikan pelatihan pengasuhan berbasis anak kepada orang dewasa di semua lembaga yang bekerja untuk anak,” kata Lenny.
Sejumlah lembaga yang diberikan pelatihan, lanjut dia, antara lain tempat penitipan anak, panti asuhan, lembaga pemasyarakatan anak, rumah detensi, dan pesantren. Bila advokasi dan edukasi berhasil menjangkau ke tingkat masyarakat bawah, Lenny yakin perdagangan anak dapat diminimalisir. Red
Sumber : IndekNews
Baca Juga :
Facebook Comments