spot_img

Kisah Aini dan Pesan Rahmah El-Yunusiyyah

Perut Aini mulas. Bukan karena sering makan sambal atau sakit perut, tetapi setiap bertemu pelajaran Matematika. Tak ada kucing mengeong, tak ada nyamuk terbang, Aini suka mulas begitu saja. Ajaib memang.

Duduk di bangku SMA pun, soal Matematika tingkat SMP tak dikuasai. Tak hanya Aini, murid-murid di SMA Ketumbi, Tanjung Hampar, itu kebanyakan sering berdoa tolak bala’ kalau mendengar Matematika.

Perut Aini yang selalu mulas berubah 180 derajat ketika mengetahui sakit bapaknya. Sungguh, ia ingin jadi dokter. Dengan jadi dokter, ia ingin menyembuhkan bapaknya yang misterius pula sakitnya. Tidak bisa tidak, Aini harus belajar Matematika untuk kuliah di kedokteran.

Di SMA Ketumbi itu sudah ada guru cantik. Desi Istiqamah, namanya. Namun, cantiknya tak mengundang pikat. Murid-murid tetap takut, sebab yang diajar adalah Matematika.

Aini yang ingin jadi dokter memasukkan baja dalam hatinya. Ya, ia harus sekuat baja menemui Bu Guru Desi. Ia ingin pintar Matematika, ingin jadi dokter.

Ingin bisa! Namun, nasib. Aini yang nilai Matematikanya selalu tak lebih dari angka 1 tetap tragis. Bukan lagi mulas, tapi pusing seratus keliling. Bu Desi yang tegas dan keras itu geleng-geleng kepala. Saking jengkelnya, Bu Desi suka juga marah-marah. Bagaimana tidak? Diajar seperti apa pun, Matematika tetap tak bisa masuk otak Aini. Angka-angka tak bisa masuk, apalagi rumus-rumus yang njlimet. Otak Aini yang kusut bertambah kusut.

Sungguh, Aini ingin jadi dokter. Ia ingin bapaknya sembuh. Sekusut apa pun otaknya, ia tetap semangat belajar. Segalak apa pun Bu Desi, ia tak surut berjuang. Bukankah di langit gelap masih ada bintang terang?

Bu Desi takluk juga karena semangat Aini. Diputarlah otaknya agar kusut otak Aini terurai. Bu Desi tertantang. Matematika Kalkulus ternyata bintang itu. Ajaib, dengan teori-teori dalam Matematika Kalkulus, otak Aini kian kinclong. Padahal, itu materi tingkat tinggi. Sekali lagi, ajaib!

BACA JUGA  Tandantangi Kesepakatan, Universitas Paramadina dan Kemenlu Bahas Krisis Global

Kisah dalam novel Guruku Aini karya Andrea Hirata itu menegaskan masih ada harapan terhadap siswa yang lambat belajar. Secara manusiawi tak dimungkiri jika guru kerap jengkel melihat ada muridnya yang tak mudah paham. Rahmah El-Yunusiyyah (1900-1969) pernah berkata, “…seorang guru yang bijaksana, secara umum, akan memberikan perhatian yang merata terhadap murid-muridnya. Malah dalam keadaan tertentu penting perhatiannya dapat diberikan lebih banyak kepada murid yang ‘kurang’ dalam tingkat kecerdasannya, atau kurang dalam kemajuannya.”

Dalam psikologi pendidikan, kita mengenal konsep individual defferences. Setiap murid memiliki keunikan masing-masing. Sejatinya tak ada murid yang bodoh. Siapa pun murid memiliki potensi. Selain lingkungan keluarga, lingkungan sekolah turut menentukan potensi itu berkembang atau tetap terpendam.

Dalam kasus Aini ternyata ia pandai juga Matematika. Memang bukan perkara mudah meneguhkan kesabaran menghadapi murid yang lambat belajar. Sejengkelnya Bu Guru Desi, ia akhirnya menemukan formula jitu lewat Matematika Kalkulus.

Setiap guru selayaknya tetap berikhtiar memudahkan setiap mata pelajaran merasuki ranah pemahaman setiap murid. Mungkin perlulah bagi guru merenungkan petuah Rahmah El-Yunusiyyah, “Guru itu harus sanggup mencarikan gaya-gaya dan variasi-variasi dalam menerangkan pelajarannya kepada murid-muridnya, sehingga pelajaran itu menjadi hidup dalam pikiran dan jiwa murid-murid tersebut.”

Di SMA Ketumbi, Bu Guru Desi diakui terbilang guru tercerdas. Ia idealis dan suntuk mempelajari bidang ilmunya. Variasi metode pembelajaran tak pernah dipikirkan guru lainnya, sehingga terkesan membiarkan murid-muridnya tak pernah bisa Matematika. Terlepas Aini tak bisa kuliah kedokteran karena mahalnya biaya, Bu Guru Desi sudah berikhtiar maksimal.

Benarlah kata Ibu Pendidikan Indonesia Rahmah El-Yunusiyyah bahwa guru harus mempersiapkan dengan “yang lebih baik dan lebih banyak”. Tak hanya soal kemuliaan akhlak, tetapi juga memperkaya pengetahuan sesuai disiplin ilmunya. Dengan terus-menerus mengasah kompetensi mengajar dan memperluas variasi pembelajaran, guru telah mencoba berbuat yang terbaik bagi murid-muridnya. Wallahu a’lam.
(Hendra Sugiantoro, penyusun buku Rahmah El-Yunusiyyah, Kepada Para
Guru bersama Yesi Sunalfia Dewi Z).

Artukel Lainnya :

Facebook Comments