Manusia Dalam Konseling Relijius (Islam)
Oleh: Prof.Dr.Duski Samad, M.Ag
Bahan Kuliah Magister (S2) Prodi Bimbingan Konseling Pendidikan Islam (BKPI) UIN Mahmud Yunus Batusangkar, Sabtu, 17 September 2022
A. PENDAHULUAN
Bimbingan dan konseling relijius adalah suatu usaha pemberian bantuan kepada seseorang (individu) yang mengalami kesulitan rohaniah baik mental dan spiritual agar yang bersangkutan mampu mengatasinya dengan kemampuan yang ada pada dirinya sendiri melalui dorongan dari kekuatan iman dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Bimbingan dan konseling relijius (Islam) ditujukan kepada seseorang yang mengalami kesulitan, baik kesulitan lahiriah maupun batiniah yang menyangkut kehidupannya di masa kini dan masa datang agar tercapai kemampuan untuk memahami dirinya, kemampuan untuk mengarahkan dan merealisasikan dirinya sesuai dengan potensi yang dimilikinya degnan tetap berpegang pada nilai-nilai relijius (Islam).
Kajian dan pengembangan secara teoretik tentang bimbingan dan konseling yang berbasiskan pada nilai-nilai relijius adalah kebutuhan dikarenakan mayoritas muslim memerlukan bimbingan dan konseling yang sesuai dengan iman dan agama yang diyakininya.Relijius merupakan suatu keadaan dan keyakinan yang ada dalam diri seseorang yang dapat mendorong seseorang itu bertingkah laku, bersikap, berbuat dan bertindak sesuai dengan ajaran agama yang telah dianutnya.
Nilai relijius sangat mempengaruhi manusia dalam bertingkah laku dan bersikap, seseorang bila tingkah laku dan sikapnya baik maka orang tersebut memiliki nilai relijius yang baik pula kepada agamanya.
Relijius sebagai pendorong manusia dalam membangun keimanan kepada tuhan sehingga manusia dapat selalu berbuat kebaikan dan selalu mengingat kebesaran tuhannya dan memiliki keyakinan yang bertambah kepada tuhannya.
Relijius itu menyangkut diri pribadi seseorang, tingkat kerelijiusan seseorang itu berbeda-beda, relijius memiliki hubungan yang sangat khusyuk antara manusia dengan tuhannya.
Nilai-nilai relijius ini memiliki tujuan untuk mendidik dan mendorong manusia berjalan di jalan Allah, membuat manusia berbuat baik dan meningkatkan iman hanya kepada Allah.
Agama (Religion) berasal dari kata latin “religio” berarti “tie-up”. Secara umum di Indonesia agama dipahami sebagai system kepercayaan, tingkah laku, nilai, pengalaman dan yang terinstitusionalisasi, diorientasikan kepada masalah spiritual/ritual yang terapkan dalam sebuah komunitas dan diwariskan antar generasi dalam tradisi.
Landasan relijius bimbingan dan konseling pada dasar ingin menetapkan klien sebagai mahluk Tuhan dengan segenap kemuliaannya menjadi fokus sentral upaya bimbingan dan konseling. Pembahasan landasan relijius ini,terkait dengan upaya mengintegritaskan nilai-nilai agam dalam proses bimbingan dan konseling.
Melalui pendekatan agama seorang konselor akan mampu mengatasi permasalahan apapun yang dihadapi klien. Karena agama mengatur bagaimana supaya hidup dalam ketentraman batin/jiwa.
Terkait dengan maksud tersebut, maka konselor dituntut memiliki pemahaman tentang hakikat manusia menurut agama dan peranan agama dalam kehidupan umat manusia.
Sehubungan dengan hal itu maka pada uraian berikut akan dibahas mengenai hakikat manusia, peranan agama, dan persyaratan konselor. (Landasan Relijius Bimbingan dan Konseling, Source: https://www.materikonseling.com/2020/12/landasan-relijius-bimbingan-dan.html)
B. PENTINGNYA KONSELING RELIJIUS
Setiap individu dalam menjalani kehidupannya pernah mengalami kecemasan, baik kecemasan itu berasal dari dalam diri seperti cemas terhadap suatu penyakit maupun yang berasal dari luar diri seperti ancaman dari orang lain. Perasaan cemas yang diderita manusia bersumber dari hilangnya makna hidup (the meaning of life). Dewasa ini terlihat adanya fenomena kehampaan spiritual dalam diri manusia modern dan untuk mengatasinya dapat diupayakan melalui konseling relijius.
Konseling relijius merupakan salah satu konseling dengan nuansa religi yang bertujuan membantu individu/klien memahami diri sendiri, yakni mengenal pribadi, menetapkan tujuan dan makna hidup, membentuk nilai yang menjadi pegangan hidup serta mengembangkan potensi seoptimal mungkin. Oleh sebab itu, usaha memfungsikan kembali spiritualitas seseorang untuk mencapai kondisi psikis yang sehat dapat dilakukan dengan menerapkan terapi zikir berbasis religiopsikoneuimunologi.
Zikir mengandung unsur psikoteraputik yang efektif, tidak hanya dari sudut kesehatan mental tetapi juga kesehatan jasmani. Zikir ini merupakan penanaman nilai-nilai tauhidiyah dalam diri seseorang. Zikir dengan basis religiopsikoneuimunologi merupakan salah satu alternatif mengatasi kecemasan. Hasil penelitian menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara agama (religi), jiwa (psikis) dan tubuh (neuroimunologi).
Agama sebagai pedoman hidup memiliki fungsi, diantaranya (a) Memelihara fitrah yaitu selalu mengingat bahwa fitrah manusia adalah makhluk tuhan yang istimewa/mulia, sehingga konselor dapat menempatkan konseli/anak didik sebagai makhluk dengan segenap kemuliaan kemanusiaannya menjadi titik fokus netral upaya bimbingan dan konseling, (b) Memelihara jiwa yaitu konselor harus sadar bahwa anak didik yang kita bimbing memiliki jiwa dan perasaan, yang harus dijaga sehingga harus berhati-hati dalam membimbing tanpa melukai jiwa dan perasaan, dan (c) Memelihara akal yaitu antara akal atau pikiran konselor dan orang yang dibimbing harus selalu dalam keadaan stabil sehingga nantinya akan menghasilkan keputusan yang benar dan tepat sasaran.
Namun yang perlu diperhatikan bagi konselor di Indonesia karena di dalam masyarakat memiliki berbagai ragam agama, maka konselor harus sangat berhati-hati dan bijaksana menerapkan landasan relijius ini terhadap klien yang berlatar belakang agama yang berbeda, konselor juga harus menyesuaikan dengan latar belakang, situasi dan kondisi klien.
Agama sepatutnya mendapat tempat dalam praktek-praktek konseling atau psikoterapi, alasannya: (1).Para klien pada umumnya memiliki latar belakang agama yang membentuk sikap. keyakinan, perasaan dan tingkah laku (2). Terdapat tumpang tindih dalam nilai dan tujuan antara konseling dengan agama, untuk itu sudah selayaknya profesi konseling mengakui nilai-nilai agama klien dan konselor, sebagai upaya membantu individu agar dapat mengelola kesulitan atau masalah dalam hidupnya (3). Banyak bukti yang menunjukkan bahwa keyakinan beragama telah berkontribusi secara positif terhadap kesehatan mental, sehingga dimensi agama dalam kehidupan klien dapat menjadi alat bantu dalam upaya terapeutik
(4). Agama sudah sepatutnya diintegrasikan ke dalam konseling dalam upaya mengubah pola pikir yang berkembang di akhir abad 20 yaitu mengintegrasian pendekatan psikoterapi(konseling) yang holistik/komprehensif. (5). Bagi klien keyakinan dan praktek beragama merupakan aspek fundamental dalam budayanya, bila konselor memperhatikan hal itu akan meningkatkan efektifitas kinerja konselor Untuk itu konselor dituntut untuk memiliki pemahaman tentang hakikat manusia menurut agama dan peran agama dalam kehidupan umat manusia serta dapat memenuhi persyaratan sebagai konselor yang profesional.
C. MANUSIA DALAM KONSELING RELIJIUS
Manusia dikaruniai Allah suatu kualitas keutamaan yang membedakan kualitas dirinya dengan makhluk lain. Dengan keutamaan itu manusia, berhak mendapatkan penghormatan dari pada makhluk lain. Pembicaraan-pembicaraan tentang manusia ini sangatlah memancing petanyaan “siapakah sebenarnya manusia itu? Dalam sejarah peradapan manusia dan perkembangan ilmu pengetahuan terdapat dua pemikiran yang berbeda tentang manusia, yakni pandangan-pandangan tentang konsep manusia berdasarkan Al-Qur`an, yang intinya manusia itu ciptaan Allah Swt. dan pandangan-pandangan secara sains
Berdasarkan pandangan Al-Qur`an, manusia adalah makhluk ciptaan Allah Swt. Yang selalu cenderung kepada kesempurnaan, keindahan, kemuliaan, kasih sayang, cinta, dan santun. Dalam diri kita sendiri akan terasa adanya kekuasaan Yang Maha Besar itu, pendukung, pemelihara, pendidik dan pengasuh. Itu semuanya benar ada walaupun zat-Nya tidak engkau lihat. Itu semua hanyalah sifat dari Dia, al-Maliku (Maharaja), al-quddus (Maha Suci), As-Salam (Keselamatan), al-Mukmin (yang memelihara Keamanan), al-Muhaimin (Yang mengasuh-Membelaimu), al- ‘Aziz (Maha Perkasa), al- Jabbar (Gagah), al- Mutakabbir (Yang Berhak Membanggakan Diri), dan lain-lain 99 sifat. Dan dalam pandangan sanis hanya memberatkan pandangan pada satu segi saja, yakni menekankan persamaan dari pada sudut jasmaniah, dan mengabaikan segi perbedaan yang asasi pada sudut rohaniah.
Mengintegrasikan konseling dengan agama, dalam hal ini agama Islam, dapat dimulai dari mengerti pandangan tentang manusia dalam Islam. al-Quran menjelaskan manusia merupakan satu-satunya makhluk yang dalam unsur penciptaannya terdapat ruh Ilahi (QS. As-Sajadah/32:9), sedangkan manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh itu/urusan Allah, kecuali sedikit (QS. al-Isra’/17: 85). Manusia digambarkan memiliki kesempatan yang sama menjadi baik dan jahat (QS. al-Syam, 5-6). Manusia juga disebut makhluk yang penciptaannya sempurna, (QS. al-Tiin, 5).
Al-Qur’ an menunjuk arti manusia, yaitu: insan atau ins dan al-nas atau unas; kata basyar dan kata bani adam atau dzurriyat adam: Uraian ini secara khusus akan mengarahkan pandangan pada kata basyar dan kata insan. (QS al-Kahf, 18:110 ). Banyak ayat-ayat al-Qur’ an yang menggunakan kata basyar yang mengisyaratkan bahwa proses kejadian manusia sebagai basyar melalui tahap-tahap(Al-Insyaqaaq, 84:19 dan Al-Mumin 40:67) sehingga mencapai tahap kedewasaan dalam kehidupannya, dan menjadikannya mampu memikul suatu tanggung jawab (amanat). Dan karena itu pula, tugas khilafah dibebankan kepada basyar (QS.Al Baqarah 2:30), dan QS. An-Nur24:55,) yang rnenggunakan kata khalifah, yang keduanya mengandung pemberitaan Tuhan kepada malaikat tentang manusia dan meneguhkan bagi manusia agama yang diridhai-NYA.
Sedangkan kata insan terambil dari akar kata uns yang berarti jinak, harmonis dan tampak. Kata insan digunakan al-Qur’ an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga, psikis dan fisik (QS AlSajdah 32:9). Manusia yang berbeda antara seseorang dengan yang lainnya, adalah akibat perbedaan fisik, psikis (mental) dan kecerdasan , jelas sekali kita dapat melihat bahwa al-Qur’ an menyebutkan jiwa manusia sebagai suatu sumber khas pengetahuan. Menurut al-Qur’ an seluruh alam raya ini merupakan manifestasi Allah. Di dalamnya terdapat tanda-tanda serta berbagai bukti untuk mencapai kebenaran. Al-Qur’ an mendefinisikan dunia eksternal sebagai al-ayat dan dunia internal sebagai jiwa dan dengan cara ini mengingatkan kita akan pentingnya jiwa manusia itu. Ungkapan, tanda-tanda dan jiwa-jiwa.
Aku akan tunjukkan kepada mereka tanda-tanda kekuasaanKu dari yang terbentang di harison ini dan dari jiwa mereka sendiri, sehingga tahulah bagi mereka bahwa al-Qur’an itu benar. (QS. Fushshilat, 41: 53). Sifat hakiki manusia adalah mahluk beragama (homo relijius), yaitu mahluk yang mempunyai fitrah untuk memahami dan menerima nilai-nilai kebenaran yang bersumber dari agama itu (QS al Araf: 172) bagi rujukan sikap dan prilakunya. Dalam al-qur’an manusia diciptakan sebaik-baiknya (QS At Tin 95-4 ) dan dalam fitrahnya memiliki sekumpulan unsur surgawi nan luhur, yang berbeda dengan unsur-unsur badani yang ada pada hewan, tumbuhan dan benda-benda tak bernyawa. Unsur itu merupakan senyawa antara alam nyata dan metafisis, antara rasa dan nonrasa(materi), antara jiwa dan raga (QS: as-Sajdah, 32: 7-9).
Penciptaan manusia benar-benar telah diperhitungkan secara teliti, bukan suatu kebetulan. karenanya, manusia merupakan makhluk pilihan. AI-Qur’an menuturkan: Kemudian Tuhannya memilihnya, menerima tobatnya, dan membimbingnya (QS. Thaha, 20: 122). Manusia bersifat bebas dan merdeka. Mereka diberi kepercayaan penuh oleh Tuhan, diberkati dengan risalah yang diturunkan melalui para nabi dan dikaruniai rasa tanggung jawab. Mereka diberi amanah dan dibekali kemampuan oleh Allah namun mereka dzalim terhadap dirinya sendiri (QS. Al-Ahzab, 33: 72 dan Al-Insan, 76: 2-3).
Manusia berulangkali diangkat derajatnya karena aktualisasi jiwanya secara positif, sebaliknya berulangkali pula manusia direndahkan karena aktualisasi jiwa yang negatif. Mereka dinobatkan jauh mengungguli alam surgawi, bumi dan bahkan para malaikat (QS Al Israa 17:70), tetapi pada saat yang sama, mereka bisa tak lebih berarti dibandingkan dengan makhluk hewani. Manusia dihargai sebagai makh1uk yang mampu menaklukkan alam, namun bisa juga mereka merosot menjadi “yang paling rendah dari segala yang rendah”, juga karena mengembangkan sisi negative, jiwanya menyimpang dari jati diri (fitrah) mereka sendiri.
Beberapa sifat dan potensi manusia banyak ditemukan dalam ayat-ayat Al-Qur’an ada yang dengan terang menjelaskan bahwa manusia diciptakan dengan sebaik-baiknya hingga dimuliakan dibanding dengan kebanyakan mahlukmakhluk yang lain (QS. Al-Isra 17: 70). Tetapi, sering pula manusia mendapat celaan Tuhan karena ia amat lalim (aniaya) mengingkari nikmat (QS. Ibrahim, 14: 34). Hal ini bukan berarti ayat-ayat Al-Qur’an bertentangan antara satu dengan yang lainnya, akan tetapi Al-Qur’ an menunjukkan bahwa manusia mempunyai potensi positif yang harus selalu dijaga dan dikembangkan, sedangkan sisi lainnya berpotensi negative yang ditunjukkan dengan beberapa kelemahan manusia yang sebaiknya harus dihindari. karena bila tidak dikendalikan akan muncul dan tumbuh sisi negatif pada dirinya.
(a). Sisi Positif Manusia.
Beberapa sisi positif manusia yang disebut dalam Al-Qur’an diantaranya, Manusia adalah khalifah Tuhan di bumi (S.Al-Baqarah, 2: 30, QS. al-An’am, 6: 165). Manusia mempunyai kapasitas intelegensi yang paling tinggi (QS. al-Baqarah, 2: 31-33). Manusia mempunyai kecenderungan dekat dengan Tuhan. Manusia sadar akan kehadiran Tuhan jauh didasar sanubari mereka. Segala keraguan dan keingkaran kepada Tuhan sesungguhnya muncul ketika terlalu memperhatikan diri dan masalah keduniawian.
Manusia memiliki kesadaran moral. Mereka dapat membedakan yang baik dari yang jahat melalui inspirasi fitri yang ada pada mereka (QS. Asy- Syam, 91: 7-8). Jiwa manusia tidak akan pemah damai, kecuali dengan mengingat Allah, (QS. al-Ra’ad/13:28). Keinginan mereka tidak terbatas, mereka tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka peroleh. Di lain pihak, mereka lebih berhasrat untuk ditinggikan ke arah perhubungan dengan Tuhan Yang Maha Abadi (QS. Ar-Ra’d, 13: 28; QS. Al-Insyiqaaq, 84: 6).
Segala bentuk duniawi diciptakan untuk kepentingan manusia. Jadi manusia berhak memanfaatkan itu semua dengan cara yang sah (QS. al- Baqarah, 2: 29; QS. al- Jaatsiyah, 45: 13). Manusia diciptakan Tuhan agar menyembah-Nya; dan tunduk patuh kepadaNya, dan merupakan tangungjawab yang utama bagi mereka. Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku (QS. Adz-Dzaariyaat, 51: 56 ). Manusia tidak memahami dirinya, kecuali dalam sujud kepada Tuhan dan dengan mengingat-Nya. Bila mereka melupakan Tuhan, mereka akan melupakan diri mereka. Dalam keadaan demikian, mereka tidak akan tahu siapa diri mereka, untuk apa mereka ada, dan apa yang harus mereka perbuat (QS. Al- Hasyr, 59: 19).
Setiap realitas yang tersembunyi akan dihadapkan kepada manusia semesta, setelah mereka meninggal dan selubung roh mereka akan disingkapkan. maka Kami singkapkan dari padamu tutup (yang menutupi) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam (QS. Qaaf, 50: 22). Manusia tidak semata-mata tersentuh oleh motivasi-motivasi duniawi saja. Kebutuhan bendawi bukanlah satu-satunya stimulus baginya. Mereka selalu berupaya untuk meraih cita-cita dan aspirasi-aspirasi yang lebih adi luhung dalam hidup mereka.
Manusia dipusakai dengan kecenderungan jiwa ke arah kebaikan maupun kejahatan (QS As Syams, 91:7-8). Kemaujudan mereka dimulai dari kelemahan dan ketidakmampuan, yang kemudian bergerak ke arah kekuatan, hingga ditegaskan oleh Tuhan: “Sunguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya (QS As Syams, 91:9). Sebaliknya: “Sungguh merugilah orang yang mengotorinya” (QS As Syams, 91:10) untuk itu supaya manusia beruntung sebaiknya mengembangkan sisi positifnya.. Bila tidak manusia akan memunculkan sisi-sisi negatifnya.
(b). Sisi Negatif Manusia.
Al-Qur’ an juga menyebutkan segi-segi negatifnya. Manusia banyak dicela, mereka dinyatakan sebagai luar biasa keji dan bodoh. AI-Qur’an menggambarkan manusia makhluk yang amat zhalim dan amat bodoh (QS. Al-Ahzab, 33: 72). Manusia dinilai sebagai makhluk yang sombong dan congkak (QS.AnNisaa, 4: 36). Manusia benar-benar sangat mengingkari nikmat (QS.AI-Hajj, 22: 66).
Manusia berkarakter suka iri hati (QS. Al-Baqarah, 2: 109). Manusia benar-benar suka melampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup (QS. Al-‘ Alaq, 96: 6-7). Manusia cenderung bersifat tergesa-gesa, suka mengambil jalan pintas yang tak terpuji (QS. Al-Isra’, 17: 11). Manusia berwatak sangat kikir (QS. Al-Isra’, 17: 100). Manusia suka gelisah dan berkeluh kesah (QS.Al-Ma’aarij, 70: 19-20). Manusia berwatak suka membanggakan dirinya; suka pada kegembiraan yang temporer (QS. Hud, 11: 10). Manusia mudah berputus asa dan cenderung pesimistik (QS. Fushshilat, 41:49; QS. Al-Isra’, 17:83).Manusia diciptakan berwatak paling banyak membantah (QS. Al-Kahf, 18: 54). Manusia cenderung tidak konsisten, tidak berpegang pada pendirian yang teguh dan menyulitkannya (QS. Yunus, .10: 12).
Lalu mengapa Al-Qur’ an menghargai mereka setinggi langit dan pada saat yang sama mencerca mereka ke tingkat yang paling rendah? Membuat manusia jadi bingung akan identitas dirinya, mereka sangat membutuhkan model serta pedoman yang kuat dalam menjalani hidup ini agar jelas dan lurus terarah menuju ridha-Nya, seperti tercantum dalam Surat al-fatihah ayat 4-7.
Pada kenyataannya manusia memang cenderung bersifat ganda, setengah dipuji dan setengah dikecam Tetapi, mereka tidaklah dipuji atau dikecam karena sifat ganda yang mereka miliki. Kejahatan dan ketakwaan manusia memang disebabkan karena kejahatan dan ketakwaan jiwanya sendiri. Allah swt, dalam hal ini menegaskan dalam QS:Asy-Syamsi 91: 7-8. Namun, yang dipuji oleh Tuhan bukanlah jiwa yang berkecenderungan ganda, `jahat’ dan ‘takwa. Yang ‘ditegaskan’ oleh Allah ialah: `Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwanya` (QS. asy-Syams, 91: 9). Sebaliknya, disebutkan pula : “Sungguh merugilah orang yang mengotorinya” (QS. Asy-Syams, 91: 10).
Nafs (Jiwa) yang ada dalam diri manusia memang berpotensi positif dan juga negatif. Namun, diperoleh isyarat bahwa pada hakekatnya potensi positif manusia lebih kuat dari potensi negatifnya, hanya saja daya tarik keburukan lebih kuat daripada daya tarik kebaikan. Karena itu manusia dituntut agar memelihara kesucian jiwa dan tidak mengotorinya. Kecenderungan nafs kepada kebaikan lebih kuat dapat dipahami dari isyarat beberapa ayat, antara lain firman-Nya: Allah tidaklah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Nafs memperoleh ganjaran dari apa yang diusahakannya, dan memperoleh siksa dari apa yang diusahakannya pula (QS. al-Baqarah, 2: 286).
Hal tersebut menurut pakar tafsir al-Qur’an, Muhammad Abduh, mengisyaratkan bahwa nafs manusia pada hakekatnya mudah tertarik untuk melakukan hal-hal yang baik (kebajikan) daripada melakukan kejahatan dan pada gilirannya hal ini mengisyaratkan bahwa manusia pada dasarnya diciptakan Tuhan untuk cenderung melakukan kebajikan. AI-Qur’an Juga mengisyaratkan keanekaragaman nafs serta peringkatperingkatnya, yang secara eksplisit disebutkan tentang al-nafs al-lawwamah, ammarah dan muthmainnah. Di sisi lain ditemukan pula isyarat bahwa nafs merupakan wadah. Firman Allah dalam surat al-Ra’d, 13: 11, yang mengandung kata anfusihim (bentuk plural kata nafs) mengisyaratkan bahwa nafs menampung, paling tidak, pikiran.
Manusia aslinya adalah ruh. Maksud dari روح (ruh) adalah suatu barang non material yang terdapat pada tubuh manusia dan diselipkan ke dalam tubuh manusia agar menjadikan manusia tersebut hidup. Bahkan manusia bisa dikatakan manusia adalah karena ruh tersebut. Pembahasan Al-Qur’an tentang jiwa dan pengaruhnya terhadap kepribadian manusia dengan menggunakan pendekatan psikologis dan semantik, adalah memparalelkan psikologis dengan perspektif Al-Qur’an tentang konsep jiwa.
Pandangan Quraish Shihab tentang konsep jiwa dapat dipahami dengan menjelaskan pemikirannya tentang konsep dasar manusia, struktur psikis, dan motivasi perilaku manusia. Quraish Shihab mengatakan bahwa karakter dasar manusia adalah kebaikan. Struktur psikis terdiri dari al-fitrah, al-nafs, al-qalb, al-ruh, al-‘aql. Kemudian, motivasi perilaku manusia adalah untuk memenuhi kebutuhan fisik/biologis dan/atau kebutuhan spiritualnya. Jiwa mempengaruhi dan membentuk kepribadian manusia melalui proses integrasi di antara dimensi-dimensi psikis tersebut.
Kajian tentang manusia dalam alquran sungguh lengkap dan menantang untuk diungkap tentang bagaimana sesungguhnya keunikan manusia. Yang pasti manusia tidak mampu menyelesaikan dirinya sendiri. Bimbingan, dan layanan konseling berbasis keyakinan, iman dan regiliusnya adalah kebutuhan yang mendasar dan diperlukan sepanjang waktu. Abad moderen, era digital yang serba internet dan robotik bukannya akan mengurangi arti penting konseling relijius, justru semangkin diperlukan, karena rentan dengan kesepian dan teralineasi dari kehidupan ruhaniyah. (*)
Baca Juga :
- Bimbingan Konseling Masuk dalam 20 Prodi Terbaik UNP
- Bertemu Virtual, Pengda ABKIN Sumbar Bahas Program Kerja 2022
- Pertemuan di Malalo MGBK SMP Tanah Datar Bahas Kurikulum Merdeka sambil Wisata
- 1910 Mahasiswa Baru UIN Mahmud Yunus Ikuti Subuh Berjamaah Bersama Wabup Richi Aprian
konseling konseling konseling
Facebook Comments