Minggu pagi (18/7) saat mengutak atik facebook, ditemukan postingan dalam sebuah grup dengan judul “Dua Hari Sebelum Idul Adha, Manusia Besar Itu Telah Pergi (In Memoriam Zainuddin Labay)” waktu yang sama dengan hari ini, dua hari menjelang Idul Adha 1442 H.
Mengikuti untaian kata hingga akhir tulisan, ada yang menarik, yakni sosok Zainuddin labay yang dibahas dalam tulisan ini. Tak banyak yang tahu tentang sepak terjang tokoh besar Ranah Minang tersebut.
Redaktur sendiri, hanya mengenal sekilas namanya, itupun karena pernah diabadikan menjadi nama pesantren Diniyah Putra Zainudin Labai Padang Panjang pada tahun 1990 silam. Namun setelah terbakar ditahun 1991, pesantren ini pun berganti nama.
Selebihnya, tak banyak literasi yang mengungkapnya. Terima kasih pada Hendra Sugiantoro, yang menyebut dirinya bukan orang Minang, hanya mencintai Indonesia, telah merangkum kepingan sejarah dari Minang khususnya penggiat pendidikan dizaman dulu.
Penuh rasa hormat redakasi pada Hendra Sugiantoro yang debgan bukunya “Rahmah el Yunusiah dalam Arus Sejarah Indonesia” mengingatkan kembali kita akan ada “Zainudin Labay tokoh besar yang berkontribusi untuk pendidikan, agama dan perjuangan pergerakan kemerdekaan di Ranh Minang”.
Setelah mendapat izin tulisan ini ditayangkan, SuhaNews mengajak netizen untuk mengenal lebih dekat sosok Zainuddin Labay dan cerita kecintaannya pada agama dan pendidikan dan motivasi yang ditinggalkaannya untuk Ranah Minang.
Insya Allah, setelah tulisan hari ini, akan dua dua tulisan tentang Zainudin Labay lainnya di pekan depan. Semoga semangat yang ditularkan Hendra Sugiantoro lewat ketukan jarinya merangkum sejarah tokoh-tokoh besar Minangkabau, membangkitkan kecintaan kita pada sosok besar yang berkontribusi untuk negara ini khususnya pendidikan.
“Zuraida, kau harus rajin belajar agar segera pintar. Kalau kau malas, siapa yang akan membaca kitab-kitab ayah yang banyak itu. Rajin-rajin, ya,” ucap Zainuddin Labay (1890-1924) sembari mendekap lututnya dengan kedua tangan. Sang putri yang berusia 10 tahun tak melupakan kalimat sang ayah seumur hidupnya.
Untaian kata Zainuddin Labay itu bagi kita terkesan biasa. Namun, bagi Zuraida, kalimat itu menggetarkan. Ayahnya yang sakit berhari-hari tak lama kemudian pergi untuk selamanya.
Dua hari sebelum Idul Adha, 97 tahun lampau dalam Masehi, dunia berkabung. Hari itu, 8 Dzulhijjah 1342 Hijriyah, seluruh orang tak mengira. Darah Haji Rasul seketika saja menyusut. Hamka yang lagi di Maninjau bergegas setelah menerima surat kematian Zainuddin Labay dari ayahnya. “Surat itu amat sedih,” terang Hamka.
Kesedihan adalah manusiawi. Tak hanya mereka yang di Padang Panjang. Ribuan orang dari Bukittinggi, Padang, Payakumbuh, Batu Sangkar, dan tempat lain berduyun-duyun untuk melayat dan mendoa. Kita tak bisa membayangkan kematian “manusia besar” pada masa itu. Konon, rumah tempat jenazah disemayamkan nyaris runtuh. Salah satu tiang penyangganya patah.
Ah, mengenang Zainuddin Labay janganlah mengenang kematiannya. Kenanglah untaian kalimat kepada Zuraida itu. Rajin-rajinlah belajar.
Kitab yang dimiliki Zainuddin Labay melampaui zaman. Kitab yang turut membesarkan Hamka dan manusia besar lainnya.
Dengan kitab-kitab itu, ulama-ulama dan guru-gurunya segan dan kagum. Pembacaan dan pemikiran Zainuddin Labay teramat luas sampai lulusan Kairo pun menaruh hormat. Kitab-kitab Zainuddin Labay teramat modern, terutama dalam bidang pendidikan. Aliran sesudah Muhammad Abduh, ujar Hamka.
Kamis, 10 Juli 1924, Zainuddin Labay telah pergi. Bukan Zuraida yang masih 10 tahun yang memiliki kitab-kitab itu. Dalam pembagian warisan, kitab-kitab itu akhirnya berada dalam genggaman Rahmah El-Yunusiyyah, adik bungsunya.
Ketika kematian Zainuddin Labay, Haji Rasul menegarkan diri dengan bertutur kepada Hamka, “Matinya orang besar seperti itu adalah seumpama matinya sepohon pisang. Di dekat tunggul pohon pisang itu akan tumbuh berpuluh anak pisang yang subur di belakang hari…” Wallahu a’lam.
Sumber:
*Aminuddin Rasyad, Leon Salim, Hasniah Saleh dalam H. Rahmah El-Yunusiyyah dan Zainuddin Labay (1991).
*Hamka dalam Ajahku: Riwajat Hidup Dr. H. Abd. Karim Amrullah dan Perdjuangan Kaum Agama di Sumatera (1967).
*Hendra Sugiantoro dalam Rahmah El-Yunusiyyah dalam Arus Sejarah Indonesia (2021).
Tulisan ini juga sudah tayang di media Matapadi.co
Baca Juga :
Facebook Comments