Kabar Tengah Malam, Air Mata Mak Adang
cerpen : Fendi Moentjak
Rustam terlelap didepan tivi dengan kepala beralasan bantal lusuh berteman karpet yang sebagian hanya tinggal nilon sebagai tulangnya. Lelah seharian bekerja membuatnya tertidur, hingga beberapa kali hapenya berdering tak dihiraukan.
“Uda, ini uni Ros menelpon, ada kabar penting sepertinya,” ujar Ajeng membangunkan Rustam masih dengan sendok goreng tergenggam ditangannya.
Sambil mengusap mata yang baru terlelap, Rustam menerima hape dari wanita Sunda yang hampir tiga puluh tahun menemaninya. Ia yang baru terlelap dalam lelah dan lapar, butuh beberapa saat untuk memulai percakapan dihape yang tersambung sejak tadi.
“Sudah tidur kau Tam, dari tadi ku telpon tak diangkat, saat ku telpon Ajeng baru kau mau bicara, kalau tak penting tak bakal aku menelponmu tengah malam begini..,” masih ada lagi kalimat dengan nada tinggi sebagai gaya khasnya bicara uni Rosnidar meluncur deras dari hape begitu Rustam menyebut salam.
Rustam menghela nafas berat, dadanya terasa sesak, dengan kepala yang berdenyut tanpa terasa air matanya menetes dipipinya. kabar kabar kabar kabar
Bergegas ia menyekanya saat Ajeng masuk membawa sepiring nasi berlauk tempe dan sambal seadanya lengkap dengan segelas teh tawar untuk makan malamnya.
“Ada kabar apa Da? sedih sekali, dikampung baik-baik saja kan?, Ajeng khawatir melihat kondisi Rustam.
“Mande sakit, sekarang di IGD,” Rustam menatap nanar.
Ajeng terdiam, ia memahami apa yang dirasakan suaminya. “Makan lah Uda dulu, kan Uda belum makan dari siang.”
Rustam mengalihkan pandangan pada dua anaknya yang telah tertidur di sudut ruangan. Si Bungsu Fadli tidur dengan sarung masih melingkar di pinggang dan kakaknya Nisa masih memegang kalkulator serta beberapa kertas penuh coretan rumus terlihat jatuh dekat kakinya.
“Uda harus pulang, lihat kondisi Mande, semoga kehadiran Uda jadi obat bagi beliau,” Ajeng menguatkan Rustam.
“Tadi Uda terima uang konveksi tiga juta lima ratus, namun ini hanya cukup untuk bayar kebutuhan sekolah Nisa, bayar LKS Fadli dan kebutuhan rumah untuk sepekan,” Rustam merogoh kantongnya.
Keduanya berembuk, meski awalnya Rustam ragu untuk pulang karena pertimbangan biaya. Kata sepakat memutuskan Rustam untuk berangkat esok pagi berkat dukungan Ajeng.
“Bagusnya uda naik pesawat saja, besok uda naik Primajasa subuh ke Cengkareng, cari penerbangan siang, malam sudah sampai di Kampung,” Ajeng memberi ide sambil menyuapi Rustam yang kehilangan nafsu makan.
“Kalau itu tak cukup uang dua juta untuk sampai ke kampung, tadi pulang mengantar orderan Uda lewat terminal bertemu Sutan Mudo, katanya ia berangkat besok jam 7 dari terminal, biarlah Uda numpang itu saja tak kan habis uang sejuta buat ongkos dan makan dijalan,” suara Rustam terdengar lirih.
Rustam berpangku lutut, belum beranjak dari tempat makan. Ajeng mengemasi pakaian yang akan dibawa besok. Beragam bayangan melintas dalam lamunan yang membuatnya tak bisa tidur.
Belum sebulan ia bertatap muka dengan Mande lewat video call, melepas kangen dan melihat senyum dari wajah keriput yang dirindu. Kini ia menerima kabar yang membuatnya luluh.
“Gak apa-apa uda pulang tak bawa oleh-oleh, atau besok kalau sempat uda beli sebelum berangkat, kan busnya mampir dulu di Bandung, uda cari yang dekat loket saja,” Ajeng meletakan tas yang berisi pakaian Rustam.
“Gak usah, keluarga disana juga paham kalau uda pulang mendadak, kondisi sekarang mereka juga gak mikirin oleh-oleh Ajeng tenang aja,” Rustam menatap istrinya.
“Aku yang gak enak sama Uni Ros dan keluarga disana Da,” Ajeng yang tau suaminya sedang gusar dan lelah memijit kaki Rustam.
Alunan ayat suci Al Qur’an dari corong masjid sentakan lamunan Rustam, sementara Ajeng terlelap disamping kakinya. Perempuan itu terbangun saat Rustam hendak bangkit, bergegas ia mengambilkan handuk. Sembari Rustam mandi, ia siapkan sajadah dan segelas teh hangat berkawan biskuit.
Masih gelap pagi itu saat Rustam diantar Ajeng menuju terminal dengan motor butut yang jadi penyambung langkah keluarga ini. Dilepas tatapan dua anaknya, dimulainya perjalanan menuju kampung halaman.
Kurang setengah jam, Rustam sampai di terminal. Lumayan dingin cuaca Sukabumi pagi itu. Ia disambut oleh Sutan Mudo yang duduk di warung kopi dekat busnya.
“Maaf Tam, uda tidak jadi berangkat hari, tidak ada penumpang. Namun jangan khawatir, nanti di Bandung kamu aku tumpang ke bus temanku. Kamu kasih ongkos sama seperti yang kita sebut semalam,” kata-kata Sutan Mudo membuat Sutan sedikit tersurut, karena waktu menelpon semalam ia sudah menceritakan kondisinya dan Sutan Mudo maklum dengan memberikan diskon ongkos dengan catatan kalau penumpang nantinya penuh ia bersedia duduk dibangku awak bus.
“Namun jangan khawatir, agar tak terlambat sampai di Bandung, kamu bisa numpang bus urang awak dari perusahaan sebelah, kami berteman, kamu cukup bayar yang dari Bandung ka kampung saja nanti,” ulas Sutan Mudo yang membuat Rustam lega.
Setelah diantar Sutan Mudo ke bus yang dimaksud, Rustam meninggalkan terminal Sukabumi menuju Bandung. Sesuai yang disampaikan, Rustam berganti bus di loket Caringin.
Tak lama perjalanan dilanjutkan, Rustam yang tau diri sebagai penumpang dengan harga khusus memilih duduk di bangku paling belakang, meski masih banyak bangku kosong. Bus melaju kencang sepanjang tol Cipularang hingga Cikampek yang kemudian singgah di terminal Pulo Gebang dan beberapa terminal lainnya.
Rustam yang terlelap baru terbangun saat bus memasuki tol Merak. Dilihatnya hampir sebagian besar bangku telah terisi. Hanya beberapa yang kosong, itupun dibagian belakang dekat toilet.
Masih dalam lamunan akan kondisi Mande, bus yang ditumpangi Rustam telah sampai di pelabuhan Merak dan tak lama kemudian langsung naik ke kapal untuk menyeberang ke Sumatera.
Duduk di dek atas kapal excecutif, Rustam menatap pantai Merak. Dalam pikirannya kini bukan Mande. Tapi Ajeng dan kedua buah hatinya yang ditinggalkannya.
Haru menyeruak dihatinya teringat tegar dan setianya Ajeng mendampinginya, terutama dalam kondisi terpuruk saat ini. Sejak lima tahun belakang, wanita Sunda itu mengajak pulang ke tanah kelahirannya setelah usaha mereka di Ranah Minang karam jauh sebelum pandemi melanda.
Memulai kembali dari Nol, Rustam mengambil borongan dari konveksi sementara Ajeng mengolah lahan milik keluarganya, menjadi petani. Disela kesibukan ditolongnya pula wanita yang tak lagi secantik dulu sejak ia terbiasa terkena sinar matahari saat mengolah sawah dan ladangnya. Meski tak tega, namun apa boleh buat.
Jelang matahari terbenam, kapal merapat di Bakauheni. Perjalanan berlanjut, bus yang ditumpanginya melaju menerobos senja di tol Trans Sumatera. Sepanjang perjalanan, Rustam berkirim kabar dengan Uni Ros dan Lidia yang bergantian menjaga Mande di rumah sakit.
Sementara tiga saudara laki-lakinya hanya menjawab dengan sibuk dan parasaian masing-masing yang membuatnya makin sedih. Syaiful, adik Rustam belum sempat ke rumah sakit karena sibuk dengan proyeknya walau ia tinggal satu kota dengan Mande.
Nofri adik dari Syaiful menjawab belum gajian sehingga tidak ada ongkos untuk pulang walau jaraknya hanya dua jam perjalanan. Parah lagi sibungsu Faisal, belum bisa datang melihat Mande karena istrinya sibuk sehingga ia harus menjaga anak-anaknya.
Sesak membayangkan itu semua Rustam terlelap hingga bus berhenti untuk istirahat di Bayung Lencir. Ia yang biasanya sangat menikmati perjalanan darat ini, tak merasakannya karena banyangan kondisi mande selalu di pelupuk mata. Sementara dadanya berkecamukakibat ulah dua adiknya yang sibuk dengan dunianya masing-masing seakan lupa kalau Mande mereka masih ada.
Perjalanan terus berlanjut tanpa kendala hingga menjelang sore bus yang ditumpangi Rustam sampai di Ranah Minang. Tak ada yang menjemput walau sudah dikabari kepulangannya, dengan ojek ia langsung menuju rumah sakit.
Rustam hanya dapat berdoa disela air mata yang mengalir deras melihat Mande terbaring di ruang ICU dengan banyak peralatan ditubuh tuanya.
“Mak Adang…,” Fauzana anak Uni Ros mengusap pundak Rustam, mereka bertiga berpelukan saling menguatkan.
Suasana haru hilang, saat Lidya adik perempuan Rustam yang kini menjadi pejabat eselon dua di Pemerintah Kota datang bersama dua bawahannya.
“Syukurlah uda sudah sampai, kemarin sebelum dibawa kesini Mande ke klinik dulu, sudah periksa laboratorium juga serta biaya ambulan sudah keluar biaya lebih dua juta belum termasuk perawatan dan IGD, kata uda Nofri dan Faisal separohnya uda yang nanggung karena uda anak lelaki tertua Mande,” ucap Lidia sambil berpangku tangan.
Sedih karena kondisi Mande yang dirasakan Rustam berubah menjadi hancur karena sikap Lidia yang tidak peduli dengan kondisinya. Hanya air mata luapan emosi Rustam atas perlakuan adik yang dulu dibesarkan dan disekolah setelah Ayah mereka tiada.
Sudut RST Solok, 8 Februari 2025
BacaJuga :
- Kupiah Usang, Cita Terbengkalai Karena Cinta
- Marawa Tagak Dirantau, Tangis Pilu Tek Siti di Bulan April
- “Om” Bukan Mamak, Air Mata Zurhaya dan Fatima
- Rindu Tergadai di Bilik Rantau
- Lebaran Ini Ia Tak Pulang
- Mak Katik
- Ota Lapau, Tenggen Dek Ulah Cik Ayam
Facebook Comments